Langsung ke konten utama

#Jeritan Hening di Balik Tirai Rumah: Ketika Cinta Pertama Menjadi Luka Terdalam

Dukungan
***

Ini adalah tulisan pertama yang muncul dari gejolak narasi tak terucapkan di kepala, sebuah respons terhadap realitas miris yang kian marak dan terasa begitu dekat. Ini adalah upaya untuk menyuarakan apa-apa yang sulit diutarakan, yang terjadi di sekeliling, bahkan di hampir setiap tempat.

Beberapa waktu lalu, di masa senggang tahun 2024, jari saya asyik menggulir linimasa Instagram, mencari hiburan ringan di antara konten-konten lucu. Namun, tiba-tiba, sebuah postingan berita menarik perhatian dan menghentikan guliran. Sebuah pemberitaan tentang seorang anak perempuan, terselip di antara algoritma konten-konten tawa.

Berita itu mengisahkan seorang remaja, diperkirakan berusia 15 atau 16 tahun, yang bertahun-tahun harus memendam emosi, berjuang menjaga kestabilan mental, hanya demi menjaga "marwah" dari sosok yang kerap disebut sebagai cinta pertama bagi anak perempuan: "ayahnya".

Ia telah menjalani sebuah kisah pahit selama kurang lebih tiga tahun. Diperlakukan sebagai objek pelampiasan nafsu oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung terkuatnya. Ironisnya, tindakan bejat ini bahkan turut dilakukan oleh kakek gadis tersebut.

Sungguh di luar nalar, bahwa tragedi ini harus ia alami di rumahnya sendiri, oleh mereka yang seharusnya menjamin keamanan dan masa depannya. Lebih menyayat hati lagi, disebutkan bahwa ia berulang kali mengalami kehamilan dan dipaksa untuk mengakhiri (membunuh) janin hasil perbuatan keji tersebut.

Yang menyakitkan adalah dalih yang sering digunakan oleh pelaku: "nurut agar tidak durhaka". Dalih yang seolah menjadi pembenaran untuk meloloskan nafsu buta, menenggelamkan akal sehat, dan mengabaikan sepenuhnya masa depan si anak. Selama hasrat mereka terpenuhi, batas moral dan kemanusiaan seakan lenyap.

Tragedi ini tersembunyi selama itu dari keluarga besar, dipendam seorang diri, namun seolah ditertawakan oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindungnya. Dalam situasi ini, siapakah yang pantas disalahkan? Apakah si anak yang "terlalu bodoh" karena berdiam diri dalam ketakutan, ataukah para pelaku yang "terlalu bejat" hingga membabi buta menuruti nafsunya?

Ini adalah keadaan yang miris. Di negara yang sesumbar menjunjung tinggi keadilan sistem hukum, namun nyatanya tetap buta dan tuli pada jeritan yang tidak terekspos luas di permukaan.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyebut mereka yang berlaku demikian? Mereka mungkin kekeh menyebut diri mereka sebagai orang tua yang wajib ditanggungjawabi, namun di sisi lain, mereka telah melupakan esensi terdalam dari tanggung jawab mereka: "melindungi, mengasihi, dan menjamin keselamatan jiwa serta raga anak mereka."

Tulisan ini bukan hanya sekadar berita, tapi cermin gelap tentang kerentanan di dalam institusi yang seharusnya menjadi benteng teraman: "keluarga". Sudah saatnya kita tidak hanya berbicara tentang hukum dan keadilan, tetapi juga tentang pentingnya edukasi, keberanian bersuara, dan mendobrak diam yang seringkali menjadi penjara bagi para korban.

***


Komentar